Sunday, December 8, 2013

Review Packerbe: South Celebes Runaway (MAKASSAR- TANA TORAJA- BULUKUMBA)



Kisah ini berawal dari tingkah packerbelle yang latahan beli tiket promo Air Asia. Kali ini, Yune berhasil mendapat 5 tiket PP ke Ujung Pandang (UPG) di sekitar pertengahan tahun 2013 lalu, untuk keberangkatan tanggal 30 Nov dan pulang 04 Dec 2013.

Dan jelas saja, Packerbeau ga mau ketinggalan. Meski awalnya mereka susah di bujuk untuk ikut dengan alasan cuti yang tidak memungkinkan dan pelbagai alasan ajaib lainnya, akhirnya meskipun tanpa tiket promo, mereka tetap ikut serta dalam PACKERBE CELEBES RUNAWAY!!!!

Okeh, secara pake tiket promo, berarti iten kudu mengikuti jadwal tiket pesawat (haha, susah yah jadi backpacker irit!) dalam waktu hanya tiga hari kami berniat untuk menjelajahi seluruh Sulawesi Selatan. Itenpun dibuat sepadat dan se-sadist mungkin. Pas gue baca itu iten... gue langsung merasa pegel hanya membayangkannya saja.

Dengan bantuan dua orang sahabat di Sana, yaitu Randi dan Ensi nan baik hati, kami mengurus semua kebutuhan seperti transportasi dan konsumsi kecuali akomodasi (Kami hanya menggunakan akomodasi umum alias masjid, bandara, dan bus, hahah... long life backpacker irit!)

Beberapa minggu sebelum berangkat, gue sempet memberitahu salah seorang senior tercinta gue yang bertugas di Makassar, Sebut saja namanya Oom Satria (nama sebenarnya, muka 98% mirip Surya Saputra!), dan dengan excited, Oom Sat nan baik hati dan rajin menabung menawarkan diri untuk mentraktir kita Packerbe. Awalnya gue hanya memberitahu beliau yang ikut sekitar tujuh orang, tapi ketika H-7, gue kasih tahu beliau peserta membludak jadi 12 orang, Beliau pun mengelus dada... pasrah bakalan nraktir duabelas orang kelaparan.

Hari H pun tiba, tanggal 30 November 2013, setelah beres mengerjakan laporan bulanan, Kami yang berdomisili di Jakarta langsung menuju CGK. Sementara dua orang temen kami, Bli Sagit dan Harsejong kena reschedule pesawat dari Bali, mereka baru berlepas besok harinya tanggal 1 Desember 2013 ke Makassar.

At Soekarno-Hatta International Airport

Makassar, Day 1

Kami tiba jam satu malam di Sultan Hasanudin International Airport. Menurut Jadwal, Randi baru akan menjemput jam delapan pagi dengan minibus sewaan. Karenanya terpaksalah kami menginvasi Mushola Bandara buat tidur walau sesaat, haha. Untung Staff bandara tidak mengusir kami, ataupun menyangka kami gembel beneran. Tidur di Mushola Bandara itu rasanyaaaaa.... seperti terbang ke langit ke tujuh, nabrak planet mars yang keras, trus jatuh di kutub Utara nan dingin... keras dan dingin.... (Well, hidup itu keras kawan!).


Menjelang Subuh kami bangun dan bergegas Shalat lalu cabut dari Mushola. Masih ada beberapa jam sebelum Randi datang menjemput, kami pun narsis di Bandara Sultan Hassanudin Internasional Airport. Karena kelaparan, dan belum ada satu cafe pun buka subuh itu, kami pun terpaksa memakan Surprise B'day Cake untuk Bli Sagit. (Maafkan kami Bli...).

         


Ngegembel di Sultan Hasanudin International Airport

Ensi datang dengan membawa tiket bus Manggala Trans buat kami nanti malam ke Tana Toraja. Dia pun menyisihkan waktunya untuk sesaat bermain bersama Packerbe ke Maros dan Bantimurung. Oh ya, FYI, tiket Bus Manggala yang kami pesan seharga Rp. 140.000,-/orang. Bus dengan fasilitas terkeren yang pernah gue tumpangi seumur hidup. Kalah deh Airport Bus SvarnaBhumi Thailand! Bangkunya semi kasur, didesign senyaman mungkin untuk penumpang tidur di perjalanan. Memang katanya orang-orang Sulawesi ini cukup berkelas seleranya, ga mau asal naik kendaraan kalau tidak nyaman bagi mereka.

Jam delapan pun tiba, sesuai janji, Randi datang menjemput dengan sebuah minibus Isuzu yang kami sewa. Kami sempat mengalami masa-masa galau dalam menyewa minibus ini, karena Packerbeau yang hobi PHP (Pemberi Harapan Palsu), hingga H-7 kami belum bisa memastikan jumlah anggota yang pasti ikut. Ketika akhirnya terkumpul 12 orang, kami galau karena tadinya kami hendak menyewa Innova, jelas tidak muat. Untuk menyewa minibus, jelas kemahalan. Sampai akhirnya Randi menemukan Jasa travel Minibus yang cukup murah meriah. Untuk sewa Minibus hari pertama kami di charge Rp. 850.000 seharian dengan trayek sekeliling Makassar, Maros, dan Bantimurung.

Kami pun langsung berangkat menuju Taman Nasional Bantimurung yang terkenal dengan kupu-kupu dan air terjunnya. Di tengah perjalanan kami berhenti sebentar untuk sarapan di kedai Jalan Kote dan menyicip makanan khas Maros yaitu jalan kote.


Sampai di Bantimurung, dengan tiket perorang Rp. 20.000,- kami langsung menjelajah. Air terjun di sini tergolong besar dan masih sangat alami. Airnya Deras dan jernih. Bukan tipe air terjun yang tinggi sekali, namun lebar dan besar. Karena masih pagi, masih sedikit orang yang bermain-main di sana, kami pun mendapat keleluasaan untuk bernarsis ria.


   
Taman Nasional Bantimurung

Melanjutkan penjelajahan, kami mendaki tangga batu yang sudah tersedia dengan rapi di pinggir tebing di sisi air terjun. Menurut bocah penjual merchandise kupu-kupu yang sedari awal mengikuti kami berlagak sebagai guide tanpa kami suruh, tangga tersebut masih tergolong baru. Agak miris mendengarnya karena itu berarti pemerintah setempat baru menyadari potensi pariwisata daerahnya, namun juga senang karena kami termasuk pengunjung yang merasakan 'tangga baru', haha.


Terus mendaki sampai suasana berubah makin gelap dan lembab, tangga menghilang, berubah menjadi belantara hutan lindung yang cukup mencekam (tapi bohong, haha, santai ajah, ada track dan beberapa penjual minuman di Tekapeh). Kami melihat Danau yang menjadi sumber mata air Air Terjun Bantimurung. Airnya tenang dan jernih, dan yang ajaib, ada banyak sekali kupu-kupu disana. Kalian pernah lihat laron yang mengerubungi lampu di rumah kalian??? Seperti itulah kupu-kupu di danau itu. Indah sekali!



Di ujung track, terlihat mulut goa yang cukup gelap dan mencekam. Tak satupun dari kami membawa senter, namun anehnya dengan pede kami melangkah masuk. Kami baru menyadari betapa pentingnya senter waktu berada di dalam kami seperti dihantam 'Black Out!". Gelap total hingga kami saling bertabrakan. Beberapa orang yang menyewakan senter dan lampu tempel yang tadi kita tolak di mulut goa, terlihat nyengir lebar melihat tingkah kita.



  

Akhirnya dengan terpaksa, kami pun menyewa satu lampu tempel (Petromak) dengan harga sewa Rp. 50.000,- per lampu+ Jasa guide sang empunya lampu. (Maklum Backpacker irit, kalo bisa semuanya ga perlu keluar duit, walau pojok-pojoknya jadi Backpacker Elit karena makan di Resto mewah, haha)


Goa yang kalo Randi menyebutnya Leang-leang (Randi anak asli Tanah Sulawesi Selatan bagian Enrekang, kalo Ensi anak Tana Toraja asli!) itu cukup besar aulanya, hanya saja tidak sepanjang yang kami bayangkan, seperti goa-goa di Pangandaran. Termasuk terawat dengan berbagai sudut-sudut bersejarah dan mitos yang menghiasinya.

Dikarenakan janjian dengan Oom Satria jam duabelas teng (Kalo yang namannya makan GRATIS, Packerbe enggak akan melewatkan!) di Losari. Kami pun tidak berlama-lama melototin goa. Begitu turun gunung, kami langsung cabut ke Losari, melalui Maros via tol.

Sampai di Losari, jam tangan baru menunjukkan pukul setengah duabelas siang. Kami lebih cepat dari waktu yang dijanjikan. Oom Satria menyuruh kami langsung ke RM. New Losari di Jalan Cendrawasih. Dengan pedenya kami pun memasuki Resto tersebut.

Pramusaji menyambut kami dengan senyum, "Ada yang bisa dibantu?". Gue menyebut nama Oom Satria dan kami langsung di halau ke sederet meja yang di atasnya terdapat tulisan "Bapak Satria, 25 Orang!"

Okeh, ada yang salah, jumlah Packerbe cuma 12 orang, kalo di tambah Oom Sat beserta istri beliau, cuma 14 orang, yang 11 orang ini siapa??? (Dikarenakan reschedule pesawat, Bli Sagit dan Har Sejong yang belum tiba di Makassar saat itu terpaksa tidak menikmati sambutan mewah ini, poor you guys!).

"Di, elo ga salah kan?"
"Kita beneran di traktirkan???"
"Ini resto kelihatan mahal lhoo...."

Dan Oom Sat tak kunjung tiba! Gue telpon si Oom, Beliau dengan santai bilang, "Iya bener itu 25 orang, gue ama teman-teman gue, kalian pesan minum saja dulu!"

Kami pun tenang dan langsung menyerbu buku menu, memesan minuman kesukaan masing-masing.

Tepat pukul duabelas, Oom Satria beserta istri dan teman-temannya datang. Yang ternyata-hai-ternyata, teman-temannya ini adalah Kepala Cabang semua, yang derajatnya selevel sama boss-boss yang kami tinggalkan di kantor masing-masing, bukannya lebai, tapi kami sempat pias... haha, makan semeja dengan Manajer-manajer yang bisa dibilang boss kami juga, udah gitu dibayarin lagi....


Eniweiii..... MAKASIH OOOOOOOM SATRIAAAAA!!!!

Puas makan, kami pun berpamitan dan berterimakasih kepada para boss dan Oom Satria atas sambutannya. Well, di perusahaan kami, Packerbe itu masih setara pegawai biasa, kalo sampai disambut para manajer gini, suatu kebanggaan tersendiri buat kami. Terima Kasih Banyak Bapak-bapak semuaaaa...

Bersama Oom Satria dan teman-temannya.
Bli Sagit dan Har sudah mendarat di Bumi Makassar. Kami janjian bertemu mereka di Masjid Apung Amirul Mu'minin di Pantai Losari sembari Sholat dan men-charge gadget-gadget yang udah semaput di pake narsis.

Masjid Apung Amirul Mu'minin
Bli Sagit mendapat sambutan hangat karena outfit pinky-pinky cha-cha nya yang mencolok mata, He's kinda Fashionista, dan Har di sambut hangat karena gaya coolnya yang maksimal (Capek deh! Betewe Har ini traveller sejati lho, doi ke Makassar setelah melakukan tour di enam kota lainnya, canggih bukan???)

Namun yang tak kalah sambutannya adalah Nenek, begitu doi keluar dari kamar mandi Masjid, semua mata tertuju padanya dan langsung ngakak melihatnya pake legging ungu ngejreng dipadankan dengan kaos packerbe biru kedodoran! (Kebalikannya Bli Sagit, She's totally not a Fashionista!)

Kami pun langsung menuju ke Pelabuhan guna menyebrang ke Pulau Samalona.






Dengan dua perahu sewaan, empat orang dalam perahu pertama, sisanya, delapan orang dalam perahu ke dua (Kok baginya ga adil?? karena di perahu pertama ada dua sejoli yang sedang menjalin cinta, kita yang delapan orang cuma kontraktor, menyingkir ke perahu kedua!) 


Pulau Samalona, Pulau sepi penduduk yang menurut Ensi waktu dia Es Em Pe sangat indah sekali (Ensi SMP itu sekitar sebelas atau dua belas tahun yang lalu!). Namun kini yang kami lihat, Pulau ini biasa saja, cenderung kotor, pun pantainya. Tidak terurus, menyedihkan sekali. Pemereintah Daerah sini kurang peduli dengan potensial kawasan wisatanya. Dengan ongkos perahu yang bisa dikatakan cukup mahal Rp. 400.000,-/ perahu berkapasitas 10 orang.


Tidak mau terlarut dalam kekecewaan karena Pantai Samalona tidak seindah harapan, kami Packerbe tidak kehabisan akal. Setelah puas berkeluh kesah dan mengarungi Pulau, Kami pun memutuskan untuk memaanfaatkan Pulau nan sepi untuk BERGOYANG CAESAR!!! Haha...



Puas Goyang Caesar kami kembali ke saung dan menikmati Makanan Khas Sulawesi Selatan Buatan Mace-nya Randi, Mantari-Sala! Itu enak banget, Ketan dengan selai yang nyummy deh pokoknya. Enaaaaaaakk....

Mantari Sala ala Mace-nya Randi
Tak berlama-lama kami pun kembali menyebrang ke Losari. Langsung menuju Fort Rottedam, Sebuah Benteng di tepi pantai yang sarat nilai sejarah. Masuk Fort Rottedam itu gratis, hanya perlu mengisi daftar administrasi nama dan asal kita. Kami pun berfoto-foto ria di sana.




Benteng Fort Rottedam
Menjelang magrib, badan kami sudah lengket total. Hasil menjelajah seharian dan bergoyang Caesar yang cukup menguras tenaga dan keringat. Randi mengusulkan agar kami numpang mandi di Masjid Raya Makassar sembari shalat Magrib jama' Isha. Kami pun bergegas ke Masjid Raya dan melaksanakan misi bebersih kami.

Setelah kembali ganteng dan cantik maksimal, perut pun keroncongan! Kami langsung menuju Karebosi guna menikmati Konro Bakar Karebosi yang terkenal!


Konro Bakar Karebosi traktiran Bli Sagit
Sampai di resto Karebosi, kami pun langsung menyerbu meja makan dan memesan Konro Bakar masing-masing. Saat itulah perayaan 29 MY AGE BLI SAGIT kami lancarkan. Siska dan Tari muncul dengan membawa kue buatan kami sendiiri (serius, itu buatan kita sendiri lhooooo....) dan menyodorkannya ke Bli SAGIT!

"Happy B'day Bli Sagit, All the Best For YOU!!!" 




Kami pun makan sembari merayakan Belated B'day Party of Bli Sagit, Makasiiiih Bli Sagit Traktiran Konro bakarnya, hari ini Packerbe makan gratisan terus, hehehe....

Hari menjelang pukul sembilan malam, kami, minus Randi dan Ensi yang hanya bisa menemani di Makassar, pun bergegas menuju Pool Bus Manggala Trans dan selama sembilan jam kedepan kami berlabuh menuju Tana Toraja.

Tana Toraja, Day 2

Pukul Empat dini hari, gelap gulita, mata masih kreyep-kreyep, kami tiba di Makale. 

Hujan seperti tak mau absen dalam perjalanan kami kali ini. Rintik-rintiknya yang tidak terlalu deras membuat Makale pagi buta itu cukup dingin, sehingga mata kami yang kreyep-kreyep kembali membelalak nanar ketika dibasuh air makale yang sedingin es.


Seperti biasa, colokan listrik di Pool Bus langsung jadi korban keganasan kami, dua lubang kecil itu pun harus rela di colok berbagai macam jenis colokan agar dapat mengaliri berbagai jenis gadget kami dengan listrik. Menjelang subuh, sebagian dari kami berjalan menuju Masjid Makale, untuk Shalat dan sebagian lagi tetap tinggal di Pool untuk menjaga barang.

perkabelan dan pergadgetan packerbe
Agak terang, Gue, Tari, Bli Sagit, Har, Bari, Deky dan Cumink pun mencoba untuk berkeliling mencari sesuap nasi (Laper, Bok!). Incaran kami sih Bubur Ayam, namun sejauh mata memandang, yang kami temukan hanya Mie ayam bakso. Agak ajaib dengan perut orang toraja yang memilih Mie ayam sebagai sarapan ketimbang bubur ayam. Mau tak mau kami pun  memesan Mie Ayam Bakso Kerbau yang ternyata penjualnya sekampung sama Deky di Daerah Wonogiri, haha.





  
Mie ayamnya enyyaaakkk... puas makan kita pun kembali ke Pool sembari photo-photo. Ada kolam yang cukup besar di Makale dan berbagai Rumah Tongkonan yang bagus sekali untuk dijadikan latar pemotretan, haha.


    


 


LEMO


Jam delapan tepat, dua mobil kijang sewaan kami datang menjemput. Kami dibagi menjadi dua kelompok dan bergegas berangkat mengelilingi Tana Toraja. Dengan alasan menghemat waktu, kami men-skip Kanbira, dimana ada pohon yang menjadi makam bagi bayi-bayi kecil yang meninggal. Kami langsung menuju Lemo, sebuah situs yang berupa tebing di sebuah desa yang amat sangat indah dengan hamparan sawahnya nan hijau dan bukit-bukit serta tebing yang mengelilinginya. 



        

Kami menikmati pemandangan alam nan begitu indah sembari berfoto-foto dan melangkah mendekati tebing yang menjadi situs pemakaman di Lemo ini. Tebing tersebut merupakan tebing batu yang cukup tinggi, terdapat jendela-jendela yang merupakan lubang tempat penyimpanan Tulang belulang Jenazah yang sebelumnya sudah di awetkan sehingga tidak mengeluarkan bau yang tidak sedap lagi. Di dinding juga terdapat deretan boneka-boneka  berbentuk manusia dengan pakaian khas Tana Toraja. Menurut warga setempat, makin tinggi derajat seseorang dalam masyarakat, makin tinggi Ia akan di kubur pada tebing tersebut.




Kami menyusuri pematang sawah di Lemo sambil menikmati suasana alam yang begitu indah, tenang dan damai. Kami jarang bertemu dengan penduduk setempat, mungkin karena kami masih terlalu pagi ke lokasi, tourist atau traveller lainpun tak kami jumpai seorang pun di sini. Hanya ada kami, tebing, sawah, seekor kerbau, dan mereka-mereka yang telah menjadi tulang belulang dalam tebing.

  


Ada beberapa saung nan teduh yang menjual beberapa aksesoris dan ukiran, ada pula seniman lokal yang sedang asyik mengukir ketika kami lewat, beberapa aksesoris bisa di beli di sini, hanya saja, pintar-pintar menawar!!! Tawar kalau bisa hingga setengah harga dari yang ditawarkan pertama kali oleh sang penjual, haha.




Oh, ya, masuk ke Lemo jangan lupa bayar tiket retribusi masuk yaaaa... hanya Rp. 10.000,- Mari kita dukung Pariwisata kita dengan membayar retribusi, jangan lupa tiketnya di minta, biar tetap anti korupsi.

TILANGA

Dari Lemo kami langsung beranjak dengan mobil ke Desa berikutnya, yaitu Tilanga. Di desa ini terdapat sumber mata air yang membentuk telaga nan indaaaaaaaaaaaaaahhhhhh sekali.



Airnya jernih, dan bebatuan alam yang mengelilinginya membentuk telaga tersebut bagai tempat pemandian tujuh bidadari, cantiiiiiik sekali!!!




Kalian bisa mandi dan berenang di sini, ada bagian air yang dalam dan kalo mau lebih asik dan menegangkan lagi, kalian bisa naik ke tebing, lalu panjat pohon di tepi tebing, dari sana lompat indah ke bawah, Byuuuuuurrrr!!! AWESOME!
 

Objek Wisata Talinga
 
LONDA



Hari makin tinggi, setelah puas berbasah-basah ria kami pun langsung menuju Londa, desa yang terkenal dengan Goa yang menjadi makam orang-orang Toraja. Goa Londa sangat gelap, karenanya setiap pengunjung jangan lupa untuk membawa senter masing-masing. Kalau pada lupa seperti kami, terpaksa menyewa lampu tempel (petromak) lagi seharga Rp. 30.000/ lampu + Rp. 20.000,; untuk guide nya (Untuk guide sebenarnya suka rela). Ketika kami berkunjung ke Londa, di depan mulut goa terdapat rangkaian bunga ucapan belasungkawa, rupanya kurang lebih tiga bulan yang lalu baru saja ada perayaan orang yang meninggal dan itu artinya terdapat jasad baru penghuni goa londa di sana. 


Menurut sang Guide, sebelum jenazah di semayamkan di Goa, jenazah akan di letakkan dulu di rumah keluarga masing-masing yang berupa rumah Tongkonan sampai sang keluarga memiliki dana untuk mengadakan upacara perayaan orang meninggal yang menurut sang guide itu mahal sekali. Gue tidak habis pikir sebenarnya, namun itulah budaya.

      

Kami melanjutkan caving kami ke dalam, berbagai tengkorak dan tulang belulang diletakkan begitu saja di dalam goa. Yang paling menarik perhatian adalah tengkorak sepasang Romeo and Juliet ala Toraja. Mereka sebenarnya adalah sepasang kekasih bernama Lobo dan Andui yang saling mencintai, akan tetapi karena mereka masih sepupu, maka hubungan mereka di tolak oleh masyarakat. Alhasil Lobo dan Andui melakukan bunuh diri bersama pada tahun 1972. Menyedihkan bukan? (Nangis di pojokan goa)

Tulang Belulang Lobo dan Andui
Gue dan Dua Sejoli Goa Londa, Lobo dan Andui
Lanjut, terdapat sebuah peti yang masih berisikan jasad berdaging, namun tentu saja tidak berbau. Di atas jenasah tersebut terdapat banyak puntung rokok dan koin receh yang berserakan. Menurut sang guide, itu adalah bentuk penghormatan bagi sang jenazah. Karena bukan perokok dan tak memilik koin, gue hanya bisa mengheningkan cipta bagi sang mayit (Maklum, backpacker irit!).


Menurut sang guide pula, makin tinggi derajat seseorang di mata masyarakat, makin tinggi mayat tersebut diletakkan. Dan ketika melihat tingginya tebing tersebut, kami berpikir keras, bagaimana caranya memanjat tebing tersebut sembari membawa mayat??? Dan Sang guide hanya berseloroh, bagaimanapun caranya, Mayit dengan kasta tinggi tersebut harus bisa di letakkan pada goa tertinggi pada tebing tersebut. Kami pun hanya bisa ber-'hemmmm...' ria.

   

    




Oh, ya... jangan lupa untuk membayar HTM masuk Londa, ya... Rp. 10.000,- sajaaaa....

KETE KESU



Beautiful place indeed!

Lewat tengah hari, kami melanjutkan perjalanan. Walau perut agak bergoyang disko karena mulai lapar, kami memutuskan untuk menuju Kete Kesu terlebih dahulu baru makan.


Sampai di desa tersebut, kami baru ingat akan bekal Barongko buatan Mace Randi yang dibawakan sang supir buat kami. Maka sebelum menjelajah Kete Kesu pun, kami mengganjal perut dengan Barongko special tersebut, Nyummiiii...


Puas berbarongko ria, kami pun langsung berlari-lari kecil menuju Kete Kesu yang syukurnya saat itu sedang sepi dan tak ada pengunjung lain selain kami (Mostly, di setiap situs, kami menjadi pengunjung tunggal, sehingga acara photo-photo kami maksimal, haha). Kami pun menjelajah Kete Kesu dan berphoto-photo ria dengan berbagai gaya, mulai dari berdiri sambil tersenyum manis hingga jungkir balik karena situs itu demikian kosong dan sepinya.



Kete Kesu merupakan deretan Rumah Tongkonan yang berjejer rapi, apik, dan exotic. Amat bersahaja dan cantik. Benar-benar tempat bersejarah yang sangat bagus dijadikan latar pemotretan, haha.

   



Kami rupanya keenakan bermain di Kete Kesu, karena ketika kami sadar, hari sudah hampir jam tiga WITA. Kami pun bergegas untuk makan siang di daerah Rantepao dan Shalat di salah satu masjid terdekat di daerah Kostan Rantepao.

BORI PARINDING



Menjelang Ashar, kami bergegas menuju situs berikutnya yaitu Bori Parinding. Sayang kami hanya punya waktu sehari di Tana Toraja, sehingga tidak semua situs dapat kami sambangi seperti Batu Tumonga yang katanya memiliki pemandangan yang sangat indah.


Meski demikian kami tetap berusaha untuk bisa melihat Bori Parinding sebelum magrib tiba. Mobil terus berjalan menjauhi Rantepao dan melewati pedesaan yang amat sangat indah pemandangannya. Hamparan sawah nan luas menjadi pemandangan di kanan kiri kami. Atap-atap Rumah Tongkonan yang cantik menjadi hiasan di bumi pertiwi. Dan kami sangat tersepona dengan kerbau-kerbau di sini yang sangat unik sekali, kerbaunya belang abu-abu dan pink.  Dan menurut yang saya dengar, harga kerbau-kerbau jenis ini bisa mencapai ratusan juta. Beberapa waktu yang lalu bahkan ada kerbau yang terjual hingga empat ratus lima puluh juta! (Tepok tangan, prok prok prok).

 

Bori Parinding merupakan situs pemakaman batu megalithikum yang sunyi, tenang dan indah. Ada berbagai macam bentuk batu megalithikum yang berdiri tinggi menjulang di sini, dan berbagai macam sarkofagus tampak begitu megah dalam keheningan.




Batu-batu megalithikum tersebut memang sangat indah dan bagus sekali di jadikan latar pemotretan. Dengan berbagai gaya kami memeluk, bergelayut, berdiri pada batu tersebut, tanpa curiga bahwa menurut seorang warga batu tersebut saat upacara keagamaan di jadikan tempat mengikat kerbau, haha.


Hari menjelang senja, badan kami sudah teramat lengket karena mandi terakhir adalah kemarin di Masjid Raya  Makassar. Dan tentu saja selalu ada keajaiaban untuk Packerbe. Dengan bantuan Randi, kami diberitahu kalau temannya Randi yang bernama Elsi sudah meminta tolong pada mantan Boss-nya yang kini menjabat sebagai Pemimpin Wilayah Makassar untuk meminta bantuan seorang  Kepala Cabang di salah satu Kantor Cabang Perusahaan kami di Rantepao agar mengizinkan kami untuk menumpang mandi di Rumah Dinas beliau. Anda bingung membacanya??? Sama, saya juga!

Intinya, Randi dengan koneksinya yang dahsyat telah membuat Pimpinan Wilayah Makassar meminta tolong kepada Bapak Kamal selaku Kepala Cabang Rantepao untuk memperbolehkan kami menumpang mandi di rumah dinas beliau.

Kami pun bergegas mencari lokasi Kantor Cabang Rantepao yang ternyata tidak jauh dari Bori Parinding. Letaknya di kawasan Pasar Bolu Rantepao.

Begitu tiba di Kantor Cabang tersebut, kami mati gaya. Bagaimana kalo ternyata kami di tolak. Namun Bli Sagit dengan pedenya turun dari mobil, yang ternyata Ia disambut hangat oleh seorang bapak yang ternyata Kepala Cabang Rantepao, Bapak Kamaludin.

Beliau sangat ramah dan mempersilakan kami beristirahat sejenak di rumahnya sebelum kami menginvasi kamar mandinya. Beliau pun telah menyediakan kudapan dan mentraktir kami makan malam. Terima kasih Bapak Kamal atas kebaikan hatinya, semoga di balas oleh nikmat yang berlimpah dari Allah SWT.

Packerbe bersama Pak Kamal
Packerbe bersama Pak Kamal
Setelah mandi, Shalat Magrib dan Isha lalu makan malam, kami pun berpamitan pada Bapak Kamal untuk melanjutkan perjalanan. Bus Kami telah menunggu di Pool Bus Rantepao dan kami hendak kembali ke Makassar dengan bus malam yang sama seperti yang kami tumpangi kemarin.

BULUKUMBA, DAY 3 

Kami tiba keesokan paginya di Makassar sekitar pukul enam pagi. Setelah bebersih ala kadarnya di toilet Pool Bus, kami pun siap beraksi lagi, walau mata masih kreyep-kreyep dan badan mulai pegal-pegal.

Tepat jam tujuh minibus sewaan kami datang. Kali ini tanpa Randi, karena dia harus kerja. Harga sewa minibus untuk kali ini berbeda dengan kemarin yaitu Rp. 1.700.000,-/hari. Karena tujuan kami adalah Bulukumba, yaitu daerah terujung di selatan Pulau Sulawesi bagian selatan ini yang artinya jauh sekali (Sekitar empat jam perjalanan dari Makassar kalau ngebut ga pake rem dengan kecepatan maksimal). Yang artinya, kalau di total sama perjalanan kami dari Tana Toraja semalam, kami telah melintasi Provinsi Sulawesi selatan, dari ujung utaranya yaitu Tana Toraja, ke bagian terujung selatannya yaitu Bulukumba, NON STOP!

Okeh, perjalanan di mulai dengan hunting bubur ayam untuk mengisi perut yang kelaparan (Dari kemaren ngidam Bubur Ayam sepertinyah!). Mata kami buka lebar-lebar sepanjang jalan guna menangkap penampakan bubur ayam. Akhirnya ketemu juga, anehnya Bubur Ayam yang kami temukan adalah bubur ayam Bandung, haha.

Setelah kelar makan, selama kurang lebih lima jam kami menggila di dalam mini bus. Melintasi Gowa, lanjut ke selatan. Pemandangan dari yang awalnya daerah perkotaan, pedesaan, sawah nan indah, sawah nan gersang, ga ada sawah, ladang tandus, ladang seperti di afrika, antah berantah... akhirnya kami menemukan pantai. Tapi ternyata, walau pantai telah menampakkan wujudnya, Tanjung Bira yang menjadi tujuan kami masih teramat jauh lagi ke selatan.


Pantat mulai tepos, pemandangan mulai monoton, mata-mata sudah terpejam dan terbuka belasan kali, puluhan lagu telah kami nyanyikan sampai kuping supirnya telah kebas dengan suara sumbang kami. Akhirnya sang supir yang sedari awal diam seribu bahasa berujar, "Mau langsung ke Bira atau lihat desa yang membuat perahu Pinisi dulu?"

Kami pun sepakat untuk melintasi kampung pembuat kapal Pinisi dulu dan tersepona melihat belasan rangka kapal yang tersusun atas kayu-kayu panjang dan melengkung berbaris di sepanjang pantai, di halaman rumah-rumah di kampung tersebut.

Kampung Pembuat Kapal Pinisi
Setelah melintasi perkampungan tersebut kami pun tiba di Bira. Karena waktu tiba di bira sudah hampir jam satu siang, kami pun menyerbu resto yang sunyi dan damai di sana. Pemandangan dari Resto yang berbentuk Perahu Pinisi tersebut sangatlah indah.




Resto tersebut memiliki akses langsung ke pantai Bira nan biru dan indah. Para cowo pun sudah gatel mau mandi. Tak peduli teriknya matahari, mereka langsung nyebur ke Laut yang airnya teramat jernih tersebut. Gue sih males mandi, udah item, tambah item lagi, haha... enjoy your day, Guys! You deserve it!






Puas mandi dan bermain di tanjung Bira, kami pun bergegas kembali ke Makassar. Pesawat Har Sejong menanti di jam 10 malam ini. Sementara Pesawat kami masih jam empat dini hari nanti, dan Pesawat Bli reschedule hingga pukul 14.00 WITA.






Walau berjam-jam dalam minibus, kami tidak merasa bosan karena kebersamaan kami menciptakan huru-hara yang teramat heboh. Mulai dari saling membully, menghina, mengejek (bercanda semua lho yaaa....), hingga bernyanyi tiga album hingga amandel pecah (ini serius, beneran, pulang-pulang gue langsung ke dokter polip, haha). Sebisa mungkin kami menikmati kebersamaan kami yang waktunya sudah menipis. Dan walau tak terhindarkan, perpisahan itu harus datang juga.

Sayonara Har...
Sampai di Makassar kami langsung mengantar Har ke Bandara dan bertangis-tangisan sesaat dengannya. Lalu langsung menemui Randi yang sudah mereservasi tempat makan Coto Makassar di pantai Losari. Kami pun makan bersama untuk terakhir kalinya di Pantai Losari.

Makan Malam terakhir di Makassar dengan Coto Makassar
Setelah makan, kami menyempatkan diri untuk membeli oleh-oleh panganan khas Makassar untuk orang di rumah dan di kantor. Lewat tengah malam, dengan Minibus yang overcharged, kami kembali menuju Bandara. Kecuali Bli Sagit yang memutuskan untuk menyewa hotel karena pesawat beliau masih besok pukul dua siang, kami memutuskan untuk tidur di bandara hingga jadwal keberangkatan kami pun tiba.

Begitulah, dengan badan yang sudah remuk redam, kami tidur di bandara, lalu esok paginya kami pun terbang menuju Jakarta tercinta, kembali pada keluarga, dan rutinitas yang menanti.

EPILOG!

Buat yang kontra terhadap mereka yang hobi travel dan beranggapan bahwa traveling itu cuma bentuk pelarian dari hidup. Just try it, beib... tapi inget, jangan travel sendiri, ajak teman-teman yang kalian sayangi untuk jalan bersama kalian. Lo bakal tahu, kalo traveling itu bukan tentang kabur dari hidup lo, tapi tentang memperkaya hidup lo. Inget, lo ga bakalan bisa kabur dari hidup kecuali mati, so why Run??? Face it, and every once in a while, do traveling to make it richer!