Wednesday, April 27, 2016

PAES, Impian masa kecil cah wedok

Dulu... dulu sekali, entah umur tujuh atau delapan, sepupu perempuan kesayanganku menikah. Beliau adalah seorang gadis ayu kelahiran Sragen yang sempat tinggal di rumahku di Jakarta untuk melanjutkan pendidikan dan menjadi teman mainku (waktu itu aku masih Balita, dan memanggilnya 'Nano" karena cadel). Umur tujuh atau delapan, Nano memperkenalkan calon pendamping hidupnya pada ayahku yang merupakan Pak deh-nya, dan kamipun berboyong-boyong mudik ke Sragen untuk menghadiri pernikahan Nano.

Saat itu, aku belum tahu arti menikah, belum tahu mengapa pria dan wanita menikah? Aku hanya tahu bahwa aku dan beberapa bocah lain yang seumuran denganku didaulat menjadi pager ayu. Pager ayu? yang terbayang saat itu hanya pager berwarna merah putih yang mengelilingi sekolahanku dulu.

Pager ayu harus dirias, seru Bu deh-ku, menggiring beberapa cah wedok ke ruangan belakang untuk dirias. Disana kutemui Nano-ku, sudah dirias, cantik... anggun sekali. Beliau mengenakan kebaya kutubaru hitam panjang selutut dan di dahinya ada sebentuk gambar seperti gelombang atau gunungan berwarna hitam pekat. Rambut pendeknya hilang, berganti sanggul dengan sasak tinggi berhias melati. Cantik sekali!

"Apa itu Nano?" aku menunjuk hiasan hitam di dahinya. Nano tersenyum, seraya menjawab, "ini rias pengantin jawa, gadis kecil kalau sudah besar akan jadi manten, Nanti kalo jadi manten, dihias begini wajahnya!"

Aku pun terpesona, meski belum tahu apa itu maksudnya jadi manten, dalam benakku sudah tertanam, kalau nanti jadi manten, ingin seperti Nano!!!

"Adat Jawa, memakai beludru hitam dan hiasan hitam di dahi", itulah yang kukatakan ketika menjawab pertanyaan dari Calon Periasku Nanti.

"Hiasan hitam? Paes?"

Dan itulah pertama kalinya aku mengetahui bahwa hiasan hitam di dahi yang kukagumi sedari kecil itu di sebut Paes. Harap maklum, aku memang berdarah jawa (setengah Minang), namun di rumahku, ayahku yang wong jowo selalu memakai bahasa Indonesia, jadi kurang familiar dengan istilah-istilah baik dari Bahasa Jawa maupun Bahasa Minang.

Pertanyaan berikutnya, "Paes Solo atau Paes Ageng Yogya?"

Hah??? Apalagi itu? Sepupuku wong Sragen, ra ana sing jenenge Paes Sragen opo, Mba? jawabku dalam hati. 

Aku pun menjawab asal,  "Paes Solo, mba!" tanpa tahu bedanya.

Di rumah, aku nanya ke Eyang, eyang Gugel maksute, "Yang, paes ki opo, dan jenise opo wae?"

Jadi, Paesan itu ternyata ada dua jenis, Paesan ala Solo dan Paesan ala Yogya.  Bedanya, hmmm... sulit dijelaskan. Biar Mba Dian Sastro Wardoyo alias Cinta-nya Rangga saja yang menjawab!

Ini Paes Solo Putri, Aduh Mba Dian, Ayuneeee.....
Ini Paes Ageng Yogya, walah... makin ayu mbak'e

Bedanya mungkin kalau Paes Solo ada sasakan rambutnya dan sanggulnya lumayan besar, namun hiasan sanggulnya lebih simpel, sementara Paes Ageng Yogya tanpa sasakan namun hiasan sanggulnya lebih ramai dan wah, serta disekeliling paes dikasih prada emas. Adapula chunduk menthul, atau hiasan sanggul seperti mahkota yang ditusuk ke sanggul, untuk Paes Solo biasanya berjumlah 7 atau 9, sementara paesan ageng Yogya hanya berjumlah 5.

Lalu jenis paes manakah yang dipakai Nano-ku dulu?

Yup, Paes Solo! Aku tak salah menyebut nama, haha... Yah, mungkin alasan aku menjawab Paes Solo juga karena Sragen jauh lebih dekat dengan Solo dari pada Yogya,atau karena Kangmasku saat ini lagi di Solo meneruskan studinya, hahai...

Dan akupun mulai mengkhayal pernikahanku nanti dengan Kangmas memakai Beludru hitam panjang (Aku ndak mau yang selutut, menurutku agak old school, hehe) dan Paes Solo... mantap!

Akupun menghubungi Kangmas, memberitahu riasan dan busana apa yang aku pilih untuk pernikahan kami, jawaban yang kudengar sungguh menghancurkan segala impian, imajinasi, bayangan, dan khayalanku tentang "Menjadi Manten". Beliau tidak mengizinkan aku memakai Beludru Hitam Panjang... dan juga PAESAN! Katanya pakai kebaya Nasional saja, dan karena aku berhijab, nanti pakai hijab biasa saja, ndak usah dimacem-macemi.

Iya sih aku berhijab, tapi sekarang Paesannya bisa dimodifikasi, Ibu Periasnya juga bilang kecil itu mah, haha. Trus kebaya Nasional? OH NO! Beludru Hitamkuuuuuuu.......

Ntah bagaimana nanti akhirnya, aku tak tahu. Yang ku tahu sekarang hanya... mari kita bujuk Kangmas dengan penjelasan yang masuk akal, sehingga beliau mau mengizinkan aku menggunakan Beludru Hitam dan Paes Solo. Karena bagaimana juga kan, inshaAllah, beliau yang akan menjadi imamku nanti... jadi kudu manut. Doakeun aku nggih :)