Wednesday, May 29, 2013

Ketika Newbie Mendaki Gunung Gede-Pangrango!





Seperti biasa, semua berawal dari a super short message saying, “Di, naik gunung yuk!”. And I dunno why I said yes, just don’t ask!

Pengalaman gue naik gunung itu bener-bener nol besar. Cuma pernah mendaki Semeru, itu pun hanya hinggap di Ranu Kumbolo tok. Ke Gunung Lawu cuma sampai Puncak Pass, itu pun dengan Jeep. Jalan-jalan ke Gunung Merapi sebelum meletus pun hanya sampai Gardu Pandang Merapi. Ke Gunung Slamet cuma sampai Pantjuran Tilu. Terakhir ke Dataran tinggi Dieng, jelas puncak Sikunir tidak bisa di bilang “pendakian” haha!

Menjelang hari H, Keril pun gue isi, se-minimalis mungkin, se-padat mungkin, se-simple mungkin, tapi heran pas gue angkat, Kerilnya tetep ajah beratnya Na’udzubillah… FYI (bagi yang newbie, kalo expert mah udah tahu!) Nyusun Keril sebaiknya yang berat-berat taruh di bagian atas).

Tanggal 24 Mei, Jum’at Malem Jam 20.00, Gue dan Nene berangkat naik motor dengan di gelendotin dua tas Keril 45-50 L isi Full Tank. Sesampainya di Terminal Rambutan sekitar Jam 22.00 (Macet Bok!) Kita bertemu dengan teman yang akan menjadi teman seperjuangan kita nanti (alias teman yang bakal kita berdua repotin abis-abisan, devil’s smirk mode ON) and they are Bang Purwo, Bang Tryas, dan Bang Feri. Dua abang-abang lagi memutuskan untuk berangkat ke Cibodas duluan dengan motor (Mereka emang abang-abang yang tahan banting dan angin) yaitu Bang Deni dan Bang Rifqi. Catatan: ke-Lima abang-abang tersebut itu setan Gunung, sangat ahli di bidang pergunungan, So if you’re newbie, make sure your buddies are expert, just saying.

Kita berlima pun langsung menuju ke bagian Antar Kota. Di sana sejauh mata memandang yang ada hanya ratusan manusia ber-keril, alias semua mau menuju ke tempat yang sama, Gunung Gede Pangrango (Lupa bilang, pendakian ini memang pendakian bersama atau massal yang di adakan oleh suatu perusahaan atau semacamnya). Soooo Terminal bus itu penuh dengan manusia, tapi tak ada satu  Bus pun yang tersedia dan siap mengantarkan. Kami menunggu hingga Jam Satu malam, dengan sedikit acara berebut di depan Bus yang baru datang (Keril desak-desakan Mode ON) kami pun berhasil mendapat tumpangan. Bus itu dalam Lima menit sudah overloaded dengan manusia dan Keril saling berhimpitan.

Jam 03.00 WIB dini hari kami tiba di Cibodas. Setelah membeli Logistik dan keperluan yang ga akan ada yang jual di puncak sana (kecuali  Aqua, Pop Mie, ama berbagai jenis Kopi), kami pun Menuju Lokasi Penanjakan Gunung Putri. Dan drama kengerian, kelelahan, kedinginan, kelaparan, pega-pegal namun hati puas dan mental tertantang pun di mulai dari sini!

Registrasi Ulang di GPO, Photo by Bang Rifqi

Tepat Jam tujuh pagi, setelah sarapan, dan melakukan berbagai jenis percobaan untuk BAB (Enam dari tujuh orang sukses melakukan BAB, namun gue gagal!!!) kami pun mulai mendaki, pertama menuju GPO (Gede Pangrango Operation) untuk registrasi ulang, dan selanjutnya terus mendaki.
Di awal-awal langkah kami, pemandangan yang terlihat sangat indah, sawah-sawah yang bersusun, ladang-ladang bawang yang subur (sempet mau nyabut daun bawangnya buat bikin telor dadar di atas nanti tapi ga jadi, itu perbuatan yang sangat…. Biasa ajah sih, kan kita niatnya abis nyabut trus di lobang bekas tanamannya kita taruh uang kertas Rp.2000,-), anak-anak sungai nan bening airnya, parit dan pematang yang saling memadu… pokoknya indaaaah deh.


Team Ceria, Masih Ceria ketika baru mau mendaki, Photo By Bang Purwo

Di Kaki Gunung Putri, Photo by Bang Rifqi
Dan Pemandangan itu pun menghilang…. Berganti dengan jalan setapak penuh bebatuan yang mulai menanjak dengan kontur yang serabutan, kanan-kiri pepohonan nan tinggi dan rimbun menutupi sinar Sang Mentari hingga suasana khas ala hutan, teduh, gelap dan lembab pun terasa. Setapak demi setapak, perlahan demi perlahan, kami mendaki.



Kami terus mendaki, menit demi menit, jam demi jam, hingga tanpa terasa topografi hutan Gunung Putri itu pun berubah. Kini jalan setapak bebatuan tak ada lagi, pepohonan makin rimbun, kemiringan tanah makin curam, dan track berubah menjadi hanya akar, batang, dan tanah. Track-nya sudah sangat curam, sehingga kini kita harus menggunakan kedua tangan kita untuk memanjat di antara akar-akar dan batang pohon untuk terus naik ke atas, dan itu menyiksa!!! Oke, for Newbie, angkat barbell lima kilo sebanyak sepuluh kali tanpa membawa keril 45 L isi full ajah udah penderitaan banget, bukan? Nah, di Gunung Putri ini lo harus memberdayakan seluruh kemampuan tubuh lo untuk bisa membawa badan lo sekaligus Keril di punggung lo naik ke atas. Ga ada kata Pulang dalam hal ini, you are already trapped, and mau ga mau harus naik.

 Istirahat di tengah Hutan Gunung Putri


 Bobo-bobo Cantik

Berdasarkan pengalaman kita naik Gunung yang emang cuma dikit bianget… Gue ama Nene setuju, Gede Pangrango meskipun tidak terlalu tinggi, sekitar ±2958 MDPL, tapi track yang kita lewati dua kali lebih sadis dari track Ranu Pani-Ranu Kumbolo yang pernah kita lewati (Secara belum nyampe puncak Mahameru, jadi belum ngerasain sadisnya Mahameru, haha).

Setelah makan siang ala kadarnya di tengah hutan, kami melanjutkan perjalanan. Track makin sadis, badan makin letih, dan hujan pun datang mengguyur. Saat itu yang ada di kepala Gue dan Nene cuma satu, “Kenapa gue mau yah di ajak manjet nih gunung??? kenapa??? kenapa????” teringat ayam goreng hangat buatan nyokap, tempat tidur nan empuk meski gerah, DVD-DVD drama Korea yang belum selesai ditonton, Variety Show Running Man yang baru ajah kelar gue download tapi belum gue tonton, CafĂ© Baru di Radal DimSum all you can eat Rp.48.000,- (Hah????)

Mantel pun kita pake, yang sialnya tetep ngerembes. Suhu makin menggigit (Ini seriusan, lo bisa mati beku kalo lo ga terus bergerak!), Keril makin berat (Secara Stamina menurun). Semua Pendaki mengobral harapan palsu, tiap ada yang melintas selalu memberi semangat, “Ayo Neng, Setengah Jam Lagi!” Dan hari itu ada kali gue mendengar orang bilang setengah jam lagi sebanyak lima puluh kali. Tiap ada yang lewat pasti bilang seperti itu. “Semangat Neng, Bro, tinggal setengah jam lagi!” kali lima puluh…

Eniwei, gue ga sendiri… hari itu ratusan pendaki bernasib setali ratusan uang dengan gue. Banyak dari mereka yang memakai kaos sergam perusahaan mereka, atau kaos pasangan, banyak juga yang independen seperti kami. Cewek Cowok, semua ada, bahkan gue liat ada tiga orang anak kecil ikut mendaki dengan gagah berani. Saat liat  bocah-bocah ini, gue malu sendiri kalo ampe collapse and ga nyampe puncak.

Hujan makin deras. Suhu pun sudah mencapai titik nadir hingga Nene pun Collapse, sementara gue ga punya pilihan, buruan nyampe Surya Kencana atau collapse juga. Jadi meski kaki sakitnya minta ampuuuuuuuuun (Anggun style, X-Factor) dan bahu rasanya remuk redam, gue tetep manjet. Berenti bentar, nafas bentar, minum kagak (persedian menipis, harap berhemat!) Akar demi akar gue jadikan penopang dan pijakan, batang gue gelayutin! Abang-abang nan super power itu dengan baik hatinya selalu membantu menarik dan mendorong (Juga pada akhirnya berbaik hati di operin Kerilnya Nene karena doi Collapse).

Kali ini rasanya gue manjet tegak lurus Sembilan puluh derajat! Setiap tarikan untuk membawa tubuh naik makin menyiksa. Tiap kali memanjat dengkul serasa menjerit mau lepas. Dan setiap pendaki yang lewat terus berkata, “Semangat… setengah jam lagi… hhh… ” dengan nafas yang ga kalah kembang kempisnya. Gue hanya tinggal berdua dengan Bang Tryas sebagai tandem. Bang Feri dan Bang Purwo membantu Nene yang Collapse. Abang Rifqi dan Deni meski super power, terserang Kram yang cukup menyiksa karena keril mereka super BIG SIZE dan tak ada yang sanggup menggantikan bawaan mereka, sehingga mereka terpaksa mendaki dengan perlahan dan berhati-hati.
Saat itu seorang pendaki yang baru turun dari atas tersenyum melihat gue yang ngos-ngosan, doi bilang, “Ayo Mbak, dikit lagi… lima belas menitan…” Gue langsung aware, ga percaya karena sejauh ini janji-janji hanya palsu, tapi doi bilang lima belas menitan, bukan setengah jam…

“O’ong yaaaaaa…” Tanpa sengaja gue menyemburkan ke-skeptis-an gue. Doi makin nyengir, seraya berkata meyakinkan, “Yang ini beneran, Mbak, saya baru dari sana!” Sepertinya doi juga tahu kalo di gunung ini tempatnya orang obral janji dengan ucapan setengah jam lagi, sejam lagi, dua belokan lagi etc etc…

Bang Tryas sangat gembira mendengarnya. Langsung saja doi yang tadinya bagai bunga mawar yang udah ga di siram sebulan (padahal doi lagi basah kuyup kehujanan) langsung mekar dan berseri kembali, “Ayo Di… Semangat!!!” dengan langkah yang ga makin lebar (sakit Bok ngelangkah lebar-lebar) kami pun konsisten untuk terus maju. Ada jalan yang mendatar setelah jalur curam habis, tapi tak lama jalur curam muncul lagi. Kami sudah berhenti mengeluh tiap melihat jalur curam, hajar saja…. lima belas menit lagi….

Dan akhirnya…. menjelang Magrib…  Surya Kencana!!! Padang Edelweiss di atas Gunung Gede-Pangrango nan luas… indah……. ga ada di Jakarta!!!!!

Ini kenapa gue mau diajak naik gunung… karena pemandangan seperti ini ga ada di Jakarta!!!

Dan ternyata, Surya Kencana sudah ramai sekali dengan tenda beraneka warna dan… OMG, banyak Mamang-mamang jualan POP MIE, AQUA, KOPI… etc… etc… (Bahkan kata para abang-abang kalo pagi ada yang jual nasi uduk, hahaha!) Gue langsung pesen Pop Mie dua. Kalo di Ok Doku everything is Goceng, Here everything is Ceban! Pop mie? Ceban! Aqua 600ML? Ceban! Segelas Kopi? Ceban? Kalo Jahe Anget? CEBAN!

Setelah seluruh pasukan Team Ceria berkumpul (Ceria berangkatnya, pulangnya udah persis seperti mayat hidup), Para Abang-abang langsung mendirikan tiga tenda sekaligus di tengah rintik hujan, sementara Gua ama Nene menggigil kedinginan. Saat itu dingin yang gue rasakan adalah kasus kedinginan terparah dalam hidup gue. Sekujur badan kedinginan hingga bicara pun sulit. Api unggun milik tenda tetangga pun enggak menolong. Jahe panas yang kita beli bagaikan air biasa saja rasanya di tangan. Saat itulah gue berpikir… mungkin beginilah rasanya orang yang lagi sakaratul maut, kehilangan panas tubuh secara drastis hingga ajal menjemput. Tapi kasus gue adalah kedinginan akibat cuaca, jadi sebenarnya gue punya panas tubuh, hanya kalah karena cuaca yang teramat dingin. Begitu tenda selesai didirikan. Gue dan Nene pun menyerbu ke dalam… mengganti pakaian, dan panas tubuh pun kembali, meski tetap kedingin, but much much better.

Ketika semua beres, Bang Purwo memasak Indomie ala gunung, apa adanya. Kami makan tanpa selera. Badan masih mengigil kedingin, seluruh tubuh menjerit kesakitan, remuk redam, dan hujan pun enggan berlalu. Baluran salep analgesic dan tempelan koyo tak membantu, hanya membuat suhu tubuh makin dingin. Kelelahan lah yang akhirnya membuat kami jatuh tertidur. Namun beberapa saat kemudian terbangun karena sakitnya badan, udara yang menggigit, dan kemudian tertidur lagi. Sepanjang malam, begitulah kami menghabiskan waktu. Tertidur, terbangun, dan tertidur lagi, hingga sang mentari menjemput malam.

 Tenda kami bermalam

Buat sarapan pagi ala kadarnya 

Suara gaduh di depan tenda mengakhiri tidur kami. Dengan semangatnya Bang Rifqi mengajak kita menjelajahi Surya Kencana dan berfoto-foto Ria. Lupa dengan pegal-pegal di badan, dan dingin yang entah kemana, kami pun berhambur keluar tenda. Menikmati kuncup-kuncup rerimbunan Edelweiss yang sangat indah dan pemandangan yang sungguh mencerminkan betapa Maha Besarnya Allah. Setelah puas berkeliling, suara gemuruh di perut pun memanggil kita untuk sarapan. Abang Purwo, Tryas dan Feri langsung menuju mata air, mengambil air bersih untuk di masak. Kami menyiapkan bahan masakan yang seadanya dan menjemur segala sesuatu yang basah akibat berjam-jam diguyur hujan kemarin. Setelah sesi eksperimen memasak dan sarapan selesai. Kami pun langsung berkemas-kemas. Jam Sepuluh kami harus sudah mulai muncak, alias mendaki hingga Puncak Gunung Gede yang berada di ketinggian 2958 MDPL.








Tak peduli sakitnya kaki melangkah, remuknya bahu menahan keril, kami berjalan dengan gagah berani menuju puncak. Kami mendaki lagi selama dua setengah jam hingga kami tiba di puncak. Di ujung Kawah gunung yang hari itu tertutup oleh kabut sehingga kami tidak bisa mendapatkan foto yang mumpuni. Namun gue puas. My first time on the TOP of the Mountain!






 Foto-foto sebelum muncak!  Taken by Random

Karena hujan yang dengan egoisnya merusak lagi hari cerah kami, kami pun tidak berlama-lama di Puncak. Setelah mantel yang belum kering kemarin kami pakai kembali, kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini perjalanan turun gunung yang tak kalah menyiksa meski secara logika turun gunung itu lebih mudah dari pada memanjat naik. Kami mengambil jalur yang menuju Cibodas, yang konon katanya lebih landai namun lebih panjang dari Jalur Gunung Putri yang kami tempuh kemarin.
Selama beberapa ratus meter pertama jalur yang kami tempuh masih berupa pasir gunung yang tidak di tumbuhi tanaman, yang sisi kanannya langsung menuju mulut kawah yang mengaga lebar dan dalam. Lalu jalur mulai di penuhi pohon-pohon berbatang pendek. Dan makin jauh kami melangkah, Jalur baru itu pun tak ubahnya dengan Gunung Putri. Hanya ada Pohon tinggi, akar dan batang, di tambah aliran deras air yang membentuk anak-anak sungai kecil di kaki kami. Rentan terpelet dan terjungkir. Rentan jatuh dan mengguling, kami harus ekstra hati-hati. Hujan makin deras dan tak berperasaan. Jalur pun makin sadis dan menggila. Tenaga kami terkuras habis. Di tambah kami melewatkan acara makan siang karena memang kami tak punya apapun untuk di makan kecuali sepotong-dua potong roti bantal dan sosis tinggal Lep!



 Puncaaaaaaaaakkkk!!!!!

Setelah beberapa saat menenempuh jalur turun yang serupa mengerikannya, Gue seakan mendapatkan ‘Feel’-nya. Makin lama gue makin terbiasa bergelayutan di batang pohon, melompat ke batu dan akar, dengan sigap meraih satu ranting ke ranting yang lain sebagai penopang tubuh untuk bergerak maju. I feel like a female version of Tarzan, haha. Tangan dan kaki gue makin sigap. Seolah setelah melompat ke satu batu, kaki langsung tahu batu selanjutnya untuk di pijak dan tangan dengan lincahnya meraih akar, ranting, batang untuk menopang, menahan, menarik badan. Dengan sekejap gue melewati puluhan pendaki yang mendaki turun dengan perlahan dan berhati-hati karena masih takut tergelincir. Di sini gue ngerasa agak songong pas teriak, “Misi Mbak, Misi Mas…”

Seperti Biasa, Bang Purwo, Tryas dan Feri yang merupakan the real TARZAN telah melesat jauh. Gue yang baru mendapatkan ‘Feel’-nya bergerak makin lincah. Bang Rifqi yang juga turunan tarzan menjadi tandem gue. Sementara Nene seperti biasa tertinggal di belakang, Bang Deni dengan setia menjadi tandemnya.

Gue dan Bang Rifqi pun akhirnya sampai di Pos Kandang Badak, yang saat itu dengan polosnya gue bertanya, “Mana Badaknya, Bang?”. Pos Kandang Badak penuh dengan kemah dan kehangatan. Aroma Pop mie dan Indomie menguar di mana-mana membuat perut seakan menjerit, namun apa adaya, kami tak lagi memiliki persediaan makanan kecuali kudapan. Kami berkumpul dengan Bang Purwo, Tryas dan Feri yang sudah setengah jam lebih dulu sampai (Gue rasa mereka sebenarnya udah sampai sejam lebih dulu, mereka cuma being humble ajah, haha).

Tak lama Nene dan Bang Deni pun tiba. Kopi pahit hangat digulirkan di antar kami. Semua sisa perbekalan kami keluarkan dan kami lahap seadanya untuk menambah energy. Setelah setengah jam mengaso, kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini kami yang berjalan lebih lambat, Gue dan Nene serta Bang Rifqi dan Deni yang menjadi tandem melangkah duluan. Kami yakin meski kami melangkah duluan, Bang Purwo, Tryas dan Feri pasti akan dengan mudah menyusul (maklum saudaranya Tarzan).

Gue yang masih merasakan The Feeling of being Tarzan  melompat dari satu batu ke batu lain dengan mudahnya. Jalurnya kini memang landai, namun di penuhi bebatuan yang membentuk anak tangga yang teramat sangat kasar dan tak beraturan. Kudapan yang mengandung karbohidrat yang tadi gue makan menambah energy dan semangat gue. Gue dan Bang Rifqi pun melesat cepat, lagi-lagi meninggalkan Nene dan Bang Deni.



Kami pun tiba di air terjun yang tak jauh dari Pos Kandang Batu. Dengan semangatnya kami turun ke bawah dan mengambil beberapa foto sebelum melanjutkan perjalan. Jalur tempuhnya memang lebih panjang, tapi hambatannya sudah tidak sesadis sebelumnya, hujan pun hanya tinggal rintikan air yang masih turun tak mau mengalah. Gue dan Bang Rifqi bagaikan anak kelinci yang melompat-lompat cepat melewati puluhan pendaki yang selalu memperingatkan agar kami lebih berhati-hati karena jalur yang licin oleh hujan.

Tak lama kemudian kami sampai di sumber mata air panas. Sungai kecil namun beraliran cukup deras dengan warna putih dan berbau belerang dan airnya, mmmm…. Hangaaaaattttt… Setelah mencuci muka dan bermain-main dengan air hangat sebentar, kami pun melanjutkan perjalanan. Saat itulah Bang Purwo, Tryas dan Feri berhasil melintas dan menyalib kami dengan kecepatan Tarzannya. Mereka pun melesat pergi. Gue dan Bang Rifqi menyebrangi jurang air terjun tempat dimana aliran sungai panas tadi berakhir dengan hati-hati. Kami melangkah di antara derasnya air dan licinnya batu dengan sanga perlahan dan berhati-hati hingga kami, para pendaki pun membentuk antrian penyebrangan yang cukup panjang dan tersendat. Kami memang harus berhati-hati, Karena tepat di samping kiri kami, air jatuh dengan debit yang amat deras ke jurang membentuk air terjun yang besar, deras dan hangat. Salah-salah kami bisa jatuh, terbawa arus, hanyut, dan tinggal nama.

Setelah air terjun panas berlalu kami pun melanjutkan perjalan yang panjang dan monoton dengan jalur landai penuh bebatuan di antara hutan belantara yang makin lama makin gelap dan pengap. Bang Rifqi menjanjikan satu pos lagi di depan untuk beristirahat. Gue lupa nama Posnya, Pos itu memiliki pondokan dan merupakan perlintasan antara jalur turun ke Cibodas dan jalur turun ke air terjun Cibereum. Rasanya seperti perjalanan sepuluh hari naik kuda sebelum akhirnya menemukan pos tersebut. Saat itu hari sudah gelap, Maghrib baru saja lewat. Dengan Headlamp di kepala dan senter di tangan kami mencoba mencari kawan kami Bang Purwo, Tryas, dan Feri di antara puluhan pendaki yang beristrahat tak beraturan, mereka seharusnya sudah sampai lebih dahulu. Kami menemukan mereka sedang beristirahat dalam gelap di sudut pondokan di temani dengan minyak nyong-nyong hangat yang sedang mereka balur di sekujur tubuh mereka. Rupanya Tarzan bisa pegal juga, haha. Kami pun mengikuti jejak mereka melakukan massage kecil-kecilan pada otot-otot kaki kami yang meringkel dan mengeras. Sakitnya bukan main, terutama paha, dengkul, betis dan telapak. O mmmaaai Gooooowwd! (Hingga tulisan ini gue buat, betis gue pun masi teramat sakit dan berkonde!)

Kami menunggu hampir setengah jam, namun Nene dan Bang Deni belum juga muncul. Kecemasan pun menaungi kami. Takut terjadi hal-hal yang tak kami inginkan terjadi pada kawan kami itu. Setelah tak tahan menunggu, Bang Rifqi pun memutuskan untuk naik lagi menjemput. Hampir setegah jam kemudian Bang Rifqi akhirnya muncul kembali membawa Keril Nene diikuti Nene yang berjalan tertatih-tatih dan Bang Deni di belakangnya yang berseru bahwa Nene telah collapse  dan tak sanggup bahkan membawa tubuhnya sendiri. Akhirnya setelah membiarkan Bang Deni dan Nene beristirahat. Memberi pijatan ringan pada kaki Nene, kami pun kembali melanjutkan perjalan dengan keadaan Keril Nene yang sudah beralih ke gendongan Bang Tryas.

Sisa perjalanan masih merupakan jalur yang sama walau ada sedikit bonus jalur mendatar. Kami berjalan amat-sangat pelan sekarang, selain untuk menyeimbangi Nene, juga karena kaki kami benar-benar sudah lempoh!!! Gue menyemangati Nene agar terus melangkah yang di sambut doi dengan enteng, “Tenang Di, gue ga mau tidur di sini kok!” dan kemudian ia bertanya pula, “Tapi Di, lo kok masi kuat ajah sih? ga gempor kayak gue???” saat itu gue jawab ajah pertanyaanya dengan jawaban yang sama,  “Soalnya gue juga enggak mau tidur di sini!” Kami pun tertawa. Yah mau gimana lagi, hanya pemikiran itulah yang membuat kami bertahan. Gue gak mungkin tidur di sini! Besok Pagi gue kudu ngantor, gue pegang kunci kantor, ga ada gue orang kantor ga bisa masuk! Gue ga mungkin tidur di tempat ga rata, dingin, dalam keadaan seluruh badan remuk redam seperti ini malam ini, gue harus pulang, kita harus pulang. Maka dalam diam kami pun terus melangkah, walau setiap langkap yang kami pijakkan, membuat jutaan sel-sel otot dan saraf di kaki kami menjerit kesakitan. Kami tidak punya pilihan.

Dua jam lagi waktu yang kami butuhkan untuk melintasi sisa perjalanan. Akhirnya kami tiba di kaki gunung. Setelah beristirahat di pos terakhir, kami pun keluar dari gerbang kaki gunung Gede-Pangrango menuju wilayah Cibodas nan sepi karena hari sudah menunjukan pukul sepuluh malam.

Kami menuju Base Camp tempat Bang Rifqi dan Deni menitipkan motor mereka. Tujuh porsi nasi goreng+telur mata sapi kami pesan. Bergantian kami memakai toilet untuk melakukan MCK dan berganti pakaian kering. Beres semua, jam sebelas malam kami menyewa angkot menuju pertigaan Cibodas di mana Bus antar kota lewat dan mengantarkan kami kembali ke terminal Rambutan.

Thanks to my sweety dearest Friend Nene yang sudah mengantarkan gue dengan motornya walau kakinya sudah ga jelas rasanya. Jam dua Dini hari, bokap gue menyambut dengan motornya di depan komplek.

“Di, kalau di ajak naik Gede Pangrango lagi, mau Di?”
“enggak!”
“Kalau Rinjani???”
“Mmm… gue pikir-pikir dulu!”

--- END ---