Seperti biasa, semua berawal dari a super short message saying, “Di, naik gunung yuk!”. And I dunno why I said yes, just don’t ask!
Pengalaman gue naik gunung itu bener-bener nol besar. Cuma
pernah mendaki Semeru, itu pun hanya hinggap di Ranu Kumbolo tok. Ke Gunung
Lawu cuma sampai Puncak Pass, itu pun dengan Jeep. Jalan-jalan ke Gunung Merapi
sebelum meletus pun hanya sampai Gardu Pandang Merapi. Ke Gunung Slamet cuma sampai
Pantjuran Tilu. Terakhir ke Dataran tinggi Dieng, jelas puncak Sikunir tidak
bisa di bilang “pendakian” haha!
Menjelang hari H, Keril pun gue isi, se-minimalis mungkin,
se-padat mungkin, se-simple mungkin, tapi heran pas gue angkat, Kerilnya tetep
ajah beratnya Na’udzubillah… FYI (bagi yang newbie, kalo expert mah udah tahu!)
Nyusun Keril sebaiknya yang berat-berat taruh di bagian atas).
Tanggal 24 Mei, Jum’at Malem Jam 20.00, Gue dan Nene
berangkat naik motor dengan di gelendotin dua tas Keril 45-50 L isi Full Tank.
Sesampainya di Terminal Rambutan sekitar Jam 22.00 (Macet Bok!) Kita bertemu
dengan teman yang akan menjadi teman seperjuangan kita nanti (alias teman yang
bakal kita berdua repotin abis-abisan, devil’s smirk mode ON) and they are Bang
Purwo, Bang Tryas, dan Bang Feri. Dua abang-abang lagi memutuskan untuk
berangkat ke Cibodas duluan dengan motor (Mereka emang abang-abang yang tahan
banting dan angin) yaitu Bang Deni dan Bang Rifqi. Catatan: ke-Lima abang-abang
tersebut itu setan Gunung, sangat ahli di bidang pergunungan, So if you’re
newbie, make sure your buddies are expert, just saying.
Kita berlima pun langsung menuju ke bagian Antar Kota. Di
sana sejauh mata memandang yang ada hanya ratusan manusia ber-keril, alias
semua mau menuju ke tempat yang sama, Gunung Gede Pangrango (Lupa bilang,
pendakian ini memang pendakian bersama atau massal yang di adakan oleh suatu
perusahaan atau semacamnya). Soooo Terminal bus itu penuh dengan manusia, tapi
tak ada satu Bus pun yang tersedia dan
siap mengantarkan. Kami menunggu hingga Jam Satu malam, dengan sedikit acara
berebut di depan Bus yang baru datang (Keril desak-desakan Mode ON) kami pun
berhasil mendapat tumpangan. Bus itu dalam Lima menit sudah overloaded dengan
manusia dan Keril saling berhimpitan.
Jam 03.00 WIB dini hari kami tiba di Cibodas. Setelah membeli
Logistik dan keperluan yang ga akan ada yang jual di puncak sana (kecuali Aqua, Pop Mie, ama berbagai jenis Kopi), kami
pun Menuju Lokasi Penanjakan Gunung Putri. Dan drama kengerian, kelelahan,
kedinginan, kelaparan, pega-pegal namun hati puas dan mental tertantang pun di
mulai dari sini!
Registrasi Ulang di GPO, Photo by Bang Rifqi
Tepat Jam tujuh pagi, setelah sarapan, dan melakukan
berbagai jenis percobaan untuk BAB (Enam dari tujuh orang sukses melakukan BAB,
namun gue gagal!!!) kami pun mulai mendaki, pertama menuju GPO (Gede Pangrango
Operation) untuk registrasi ulang, dan selanjutnya terus mendaki.
Di awal-awal langkah kami, pemandangan yang terlihat sangat
indah, sawah-sawah yang bersusun, ladang-ladang bawang yang subur (sempet mau
nyabut daun bawangnya buat bikin telor dadar di atas nanti tapi ga jadi, itu
perbuatan yang sangat…. Biasa ajah sih, kan kita niatnya abis nyabut trus di
lobang bekas tanamannya kita taruh uang kertas Rp.2000,-), anak-anak sungai nan
bening airnya, parit dan pematang yang saling memadu… pokoknya indaaaah deh.
Team Ceria, Masih Ceria ketika baru mau mendaki, Photo By Bang Purwo
Di Kaki Gunung Putri, Photo by Bang Rifqi
Dan Pemandangan itu pun menghilang…. Berganti dengan jalan
setapak penuh bebatuan yang mulai menanjak dengan kontur yang serabutan,
kanan-kiri pepohonan nan tinggi dan rimbun menutupi sinar Sang Mentari hingga
suasana khas ala hutan, teduh, gelap dan lembab pun terasa. Setapak demi
setapak, perlahan demi perlahan, kami mendaki.
Kami terus mendaki, menit demi menit, jam demi jam, hingga
tanpa terasa topografi hutan Gunung Putri itu pun berubah. Kini jalan setapak
bebatuan tak ada lagi, pepohonan makin rimbun, kemiringan tanah makin curam,
dan track berubah menjadi hanya akar, batang, dan tanah. Track-nya sudah sangat
curam, sehingga kini kita harus menggunakan kedua tangan kita untuk memanjat di
antara akar-akar dan batang pohon untuk terus naik ke atas, dan itu menyiksa!!!
Oke, for Newbie, angkat barbell lima kilo sebanyak sepuluh kali tanpa membawa
keril 45 L isi full ajah udah penderitaan banget, bukan? Nah, di Gunung Putri
ini lo harus memberdayakan seluruh kemampuan tubuh lo untuk bisa membawa badan
lo sekaligus Keril di punggung lo naik ke atas. Ga ada kata Pulang dalam hal
ini, you are already trapped, and mau ga mau harus naik.
Istirahat di tengah Hutan Gunung Putri
Bobo-bobo Cantik
Berdasarkan pengalaman kita naik Gunung yang emang cuma
dikit bianget… Gue ama Nene setuju, Gede Pangrango meskipun tidak terlalu
tinggi, sekitar ±2958 MDPL, tapi track yang kita lewati dua kali lebih sadis
dari track Ranu Pani-Ranu Kumbolo yang pernah kita lewati (Secara belum nyampe
puncak Mahameru, jadi belum ngerasain sadisnya Mahameru, haha).
Setelah makan siang ala kadarnya di tengah hutan, kami
melanjutkan perjalanan. Track makin sadis, badan makin letih, dan hujan pun datang
mengguyur. Saat itu yang ada di kepala Gue dan Nene cuma satu, “Kenapa gue mau
yah di ajak manjet nih gunung??? kenapa??? kenapa????” teringat ayam goreng
hangat buatan nyokap, tempat tidur nan empuk meski gerah, DVD-DVD drama Korea
yang belum selesai ditonton, Variety Show Running Man yang baru ajah kelar gue
download tapi belum gue tonton, Café Baru di Radal DimSum all you can eat
Rp.48.000,- (Hah????)
Mantel pun kita pake, yang sialnya tetep ngerembes. Suhu
makin menggigit (Ini seriusan, lo bisa mati beku kalo lo ga terus bergerak!),
Keril makin berat (Secara Stamina menurun). Semua Pendaki mengobral harapan
palsu, tiap ada yang melintas selalu memberi semangat, “Ayo Neng, Setengah Jam
Lagi!” Dan hari itu ada kali gue mendengar orang bilang setengah jam lagi
sebanyak lima puluh kali. Tiap ada yang lewat pasti bilang seperti itu.
“Semangat Neng, Bro, tinggal setengah jam lagi!” kali lima puluh…
Eniwei, gue ga sendiri… hari itu ratusan pendaki bernasib
setali ratusan uang dengan gue. Banyak dari mereka yang memakai kaos sergam
perusahaan mereka, atau kaos pasangan, banyak juga yang independen seperti
kami. Cewek Cowok, semua ada, bahkan gue liat ada tiga orang anak kecil ikut
mendaki dengan gagah berani. Saat liat bocah-bocah ini, gue malu sendiri kalo ampe
collapse and ga nyampe puncak.
Hujan makin deras. Suhu pun sudah mencapai titik nadir
hingga Nene pun Collapse, sementara gue ga punya pilihan, buruan nyampe Surya
Kencana atau collapse juga. Jadi meski kaki sakitnya minta ampuuuuuuuuun
(Anggun style, X-Factor) dan bahu rasanya remuk redam, gue tetep manjet. Berenti
bentar, nafas bentar, minum kagak (persedian menipis, harap berhemat!) Akar
demi akar gue jadikan penopang dan pijakan, batang gue gelayutin! Abang-abang
nan super power itu dengan baik hatinya selalu membantu menarik dan mendorong
(Juga pada akhirnya berbaik hati di operin Kerilnya Nene karena doi Collapse).
Kali ini rasanya gue manjet tegak lurus Sembilan puluh
derajat! Setiap tarikan untuk membawa tubuh naik makin menyiksa. Tiap kali
memanjat dengkul serasa menjerit mau lepas. Dan setiap pendaki yang lewat terus
berkata, “Semangat… setengah jam lagi… hhh… ” dengan nafas yang ga kalah
kembang kempisnya. Gue hanya tinggal berdua dengan Bang Tryas sebagai tandem.
Bang Feri dan Bang Purwo membantu Nene yang Collapse. Abang Rifqi dan Deni
meski super power, terserang Kram yang cukup menyiksa karena keril mereka super
BIG SIZE dan tak ada yang sanggup menggantikan bawaan mereka, sehingga mereka
terpaksa mendaki dengan perlahan dan berhati-hati.
Saat itu seorang pendaki yang baru turun dari atas tersenyum
melihat gue yang ngos-ngosan, doi bilang, “Ayo Mbak, dikit lagi… lima belas
menitan…” Gue langsung aware, ga
percaya karena sejauh ini janji-janji hanya palsu, tapi doi bilang lima belas
menitan, bukan setengah jam…
“O’ong yaaaaaa…” Tanpa sengaja gue menyemburkan
ke-skeptis-an gue. Doi makin nyengir, seraya berkata meyakinkan, “Yang ini beneran,
Mbak, saya baru dari sana!” Sepertinya doi juga tahu kalo di gunung ini
tempatnya orang obral janji dengan ucapan setengah jam lagi, sejam lagi, dua
belokan lagi etc etc…
Bang Tryas sangat gembira mendengarnya. Langsung saja doi
yang tadinya bagai bunga mawar yang udah ga di siram sebulan (padahal doi lagi
basah kuyup kehujanan) langsung mekar dan berseri kembali, “Ayo Di…
Semangat!!!” dengan langkah yang ga makin lebar (sakit Bok ngelangkah
lebar-lebar) kami pun konsisten untuk terus maju. Ada jalan yang mendatar
setelah jalur curam habis, tapi tak lama jalur curam muncul lagi. Kami sudah
berhenti mengeluh tiap melihat jalur curam, hajar saja…. lima belas menit
lagi….
Dan akhirnya…. menjelang Magrib… Surya Kencana!!! Padang Edelweiss di atas
Gunung Gede-Pangrango nan luas… indah……. ga ada di Jakarta!!!!!
Ini kenapa gue mau diajak naik gunung… karena pemandangan
seperti ini ga ada di Jakarta!!!
Dan ternyata, Surya Kencana sudah ramai sekali dengan tenda beraneka warna dan… OMG, banyak Mamang-mamang jualan POP MIE, AQUA, KOPI… etc… etc… (Bahkan kata para abang-abang kalo pagi ada yang jual nasi uduk, hahaha!) Gue langsung pesen Pop Mie dua. Kalo di Ok Doku everything is Goceng, Here everything is Ceban! Pop mie? Ceban! Aqua 600ML? Ceban! Segelas Kopi? Ceban? Kalo Jahe Anget? CEBAN!
Setelah seluruh pasukan Team Ceria berkumpul (Ceria
berangkatnya, pulangnya udah persis seperti mayat hidup), Para Abang-abang
langsung mendirikan tiga tenda sekaligus di tengah rintik hujan, sementara Gua
ama Nene menggigil kedinginan. Saat itu dingin yang gue rasakan adalah kasus
kedinginan terparah dalam hidup gue. Sekujur badan kedinginan hingga bicara pun
sulit. Api unggun milik tenda tetangga pun enggak menolong. Jahe panas yang
kita beli bagaikan air biasa saja rasanya di tangan. Saat itulah gue berpikir…
mungkin beginilah rasanya orang yang lagi sakaratul maut, kehilangan panas
tubuh secara drastis hingga ajal menjemput. Tapi kasus gue adalah kedinginan
akibat cuaca, jadi sebenarnya gue punya panas tubuh, hanya kalah karena cuaca
yang teramat dingin. Begitu tenda selesai didirikan. Gue dan Nene pun menyerbu
ke dalam… mengganti pakaian, dan panas tubuh pun kembali, meski tetap kedingin,
but much much better.
Ketika semua beres, Bang Purwo memasak Indomie ala gunung,
apa adanya. Kami makan tanpa selera. Badan masih mengigil kedingin, seluruh
tubuh menjerit kesakitan, remuk redam, dan hujan pun enggan berlalu. Baluran
salep analgesic dan tempelan koyo tak membantu, hanya membuat suhu tubuh makin
dingin. Kelelahan lah yang akhirnya membuat kami jatuh tertidur. Namun beberapa
saat kemudian terbangun karena sakitnya badan, udara yang menggigit, dan
kemudian tertidur lagi. Sepanjang malam, begitulah kami menghabiskan waktu. Tertidur,
terbangun, dan tertidur lagi, hingga sang mentari menjemput malam.
Tenda kami bermalam
Suara gaduh di depan tenda mengakhiri tidur kami. Dengan
semangatnya Bang Rifqi mengajak kita menjelajahi Surya Kencana dan berfoto-foto
Ria. Lupa dengan pegal-pegal di badan, dan dingin yang entah kemana, kami pun
berhambur keluar tenda. Menikmati kuncup-kuncup rerimbunan Edelweiss yang
sangat indah dan pemandangan yang sungguh mencerminkan betapa Maha Besarnya
Allah. Setelah puas berkeliling, suara gemuruh di perut pun memanggil kita
untuk sarapan. Abang Purwo, Tryas dan Feri langsung menuju mata air, mengambil
air bersih untuk di masak. Kami menyiapkan bahan masakan yang seadanya dan
menjemur segala sesuatu yang basah akibat berjam-jam diguyur hujan kemarin.
Setelah sesi eksperimen memasak dan sarapan selesai. Kami pun langsung
berkemas-kemas. Jam Sepuluh kami harus sudah mulai muncak, alias mendaki hingga
Puncak Gunung Gede yang berada di ketinggian 2958 MDPL.
Tak peduli sakitnya kaki melangkah, remuknya bahu menahan
keril, kami berjalan dengan gagah berani menuju puncak. Kami mendaki lagi
selama dua setengah jam hingga kami tiba di puncak. Di ujung Kawah gunung yang
hari itu tertutup oleh kabut sehingga kami tidak bisa mendapatkan foto yang
mumpuni. Namun gue puas. My first time on the TOP of the Mountain!
Foto-foto sebelum muncak! Taken by Random
Karena hujan yang dengan egoisnya merusak lagi hari cerah kami, kami pun tidak berlama-lama di Puncak. Setelah mantel yang belum kering kemarin kami pakai kembali, kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini perjalanan turun gunung yang tak kalah menyiksa meski secara logika turun gunung itu lebih mudah dari pada memanjat naik. Kami mengambil jalur yang menuju Cibodas, yang konon katanya lebih landai namun lebih panjang dari Jalur Gunung Putri yang kami tempuh kemarin.
Selama beberapa ratus meter pertama jalur yang kami tempuh
masih berupa pasir gunung yang tidak di tumbuhi tanaman, yang sisi kanannya
langsung menuju mulut kawah yang mengaga lebar dan dalam. Lalu jalur mulai di
penuhi pohon-pohon berbatang pendek. Dan makin jauh kami melangkah, Jalur baru
itu pun tak ubahnya dengan Gunung Putri. Hanya ada Pohon tinggi, akar dan
batang, di tambah aliran deras air yang membentuk anak-anak sungai kecil di
kaki kami. Rentan terpelet dan terjungkir. Rentan jatuh dan mengguling, kami
harus ekstra hati-hati. Hujan makin deras dan tak berperasaan. Jalur pun makin
sadis dan menggila. Tenaga kami terkuras habis. Di tambah kami melewatkan acara
makan siang karena memang kami tak punya apapun untuk di makan kecuali
sepotong-dua potong roti bantal dan sosis tinggal Lep!
Setelah beberapa saat menenempuh jalur turun yang serupa
mengerikannya, Gue seakan mendapatkan ‘Feel’-nya. Makin lama gue makin terbiasa
bergelayutan di batang pohon, melompat ke batu dan akar, dengan sigap meraih
satu ranting ke ranting yang lain sebagai penopang tubuh untuk bergerak maju. I
feel like a female version of Tarzan, haha. Tangan dan kaki gue makin sigap.
Seolah setelah melompat ke satu batu, kaki langsung tahu batu selanjutnya untuk
di pijak dan tangan dengan lincahnya meraih akar, ranting, batang untuk
menopang, menahan, menarik badan. Dengan sekejap gue melewati puluhan pendaki
yang mendaki turun dengan perlahan dan berhati-hati karena masih takut
tergelincir. Di sini gue ngerasa agak songong pas teriak, “Misi Mbak, Misi Mas…”
Seperti Biasa, Bang Purwo, Tryas dan Feri yang merupakan the
real TARZAN telah melesat jauh. Gue yang baru mendapatkan ‘Feel’-nya bergerak
makin lincah. Bang Rifqi yang juga turunan tarzan menjadi tandem gue. Sementara
Nene seperti biasa tertinggal di belakang, Bang Deni dengan setia menjadi
tandemnya.
Gue dan Bang Rifqi pun akhirnya sampai di Pos Kandang Badak,
yang saat itu dengan polosnya gue bertanya, “Mana Badaknya, Bang?”. Pos Kandang
Badak penuh dengan kemah dan kehangatan. Aroma Pop mie dan Indomie menguar di
mana-mana membuat perut seakan menjerit, namun apa adaya, kami tak lagi
memiliki persediaan makanan kecuali kudapan. Kami berkumpul dengan Bang Purwo,
Tryas dan Feri yang sudah setengah jam lebih dulu sampai (Gue rasa mereka
sebenarnya udah sampai sejam lebih dulu, mereka cuma being humble ajah, haha).
Tak lama Nene dan Bang Deni pun tiba. Kopi pahit hangat
digulirkan di antar kami. Semua sisa perbekalan kami keluarkan dan kami lahap
seadanya untuk menambah energy. Setelah setengah jam mengaso, kami pun
melanjutkan perjalanan. Kali ini kami yang berjalan lebih lambat, Gue dan Nene
serta Bang Rifqi dan Deni yang menjadi tandem melangkah duluan. Kami yakin meski kami melangkah duluan, Bang Purwo, Tryas dan Feri pasti akan dengan mudah
menyusul (maklum saudaranya Tarzan).
Gue yang masih merasakan The
Feeling of being Tarzan melompat
dari satu batu ke batu lain dengan mudahnya. Jalurnya kini memang landai, namun
di penuhi bebatuan yang membentuk anak tangga yang teramat sangat kasar dan tak
beraturan. Kudapan yang mengandung karbohidrat yang tadi gue makan menambah
energy dan semangat gue. Gue dan Bang Rifqi pun melesat cepat, lagi-lagi
meninggalkan Nene dan Bang Deni.
Kami pun tiba di air terjun yang tak jauh dari Pos Kandang
Batu. Dengan semangatnya kami turun ke bawah dan mengambil beberapa foto
sebelum melanjutkan perjalan. Jalur tempuhnya memang lebih panjang, tapi
hambatannya sudah tidak sesadis sebelumnya, hujan pun hanya tinggal rintikan air
yang masih turun tak mau mengalah. Gue dan Bang Rifqi bagaikan anak kelinci
yang melompat-lompat cepat melewati puluhan pendaki yang selalu memperingatkan
agar kami lebih berhati-hati karena jalur yang licin oleh hujan.
Tak lama kemudian kami sampai di sumber mata air panas.
Sungai kecil namun beraliran cukup deras dengan warna putih dan berbau belerang
dan airnya, mmmm…. Hangaaaaattttt… Setelah mencuci muka dan bermain-main dengan
air hangat sebentar, kami pun melanjutkan perjalanan. Saat itulah Bang Purwo,
Tryas dan Feri berhasil melintas dan menyalib kami dengan kecepatan Tarzannya.
Mereka pun melesat pergi. Gue dan Bang Rifqi menyebrangi jurang air terjun
tempat dimana aliran sungai panas tadi berakhir dengan hati-hati. Kami
melangkah di antara derasnya air dan licinnya batu dengan sanga perlahan dan
berhati-hati hingga kami, para pendaki pun membentuk antrian penyebrangan yang cukup
panjang dan tersendat. Kami memang harus berhati-hati, Karena tepat di samping
kiri kami, air jatuh dengan debit yang amat deras ke jurang membentuk air
terjun yang besar, deras dan hangat. Salah-salah kami bisa jatuh, terbawa arus,
hanyut, dan tinggal nama.
Setelah air terjun panas berlalu kami pun melanjutkan
perjalan yang panjang dan monoton dengan jalur landai penuh bebatuan di antara
hutan belantara yang makin lama makin gelap dan pengap. Bang Rifqi menjanjikan
satu pos lagi di depan untuk beristirahat. Gue lupa nama Posnya, Pos itu
memiliki pondokan dan merupakan perlintasan antara jalur turun ke Cibodas dan
jalur turun ke air terjun Cibereum. Rasanya seperti perjalanan sepuluh hari naik
kuda sebelum akhirnya menemukan pos tersebut. Saat itu hari sudah gelap, Maghrib
baru saja lewat. Dengan Headlamp di kepala dan senter di tangan kami mencoba
mencari kawan kami Bang Purwo, Tryas, dan Feri di antara puluhan pendaki yang
beristrahat tak beraturan, mereka seharusnya sudah sampai lebih dahulu. Kami menemukan
mereka sedang beristirahat dalam gelap di sudut pondokan di temani dengan minyak
nyong-nyong hangat yang sedang mereka balur di sekujur tubuh mereka. Rupanya
Tarzan bisa pegal juga, haha. Kami pun mengikuti jejak mereka melakukan massage
kecil-kecilan pada otot-otot kaki kami yang meringkel dan mengeras. Sakitnya
bukan main, terutama paha, dengkul, betis dan telapak. O mmmaaai Gooooowwd!
(Hingga tulisan ini gue buat, betis gue pun masi teramat sakit dan berkonde!)
Kami menunggu hampir setengah jam, namun Nene dan Bang Deni
belum juga muncul. Kecemasan pun menaungi kami. Takut terjadi hal-hal yang tak
kami inginkan terjadi pada kawan kami itu. Setelah tak tahan menunggu, Bang
Rifqi pun memutuskan untuk naik lagi menjemput. Hampir setegah jam kemudian
Bang Rifqi akhirnya muncul kembali membawa Keril Nene diikuti Nene yang
berjalan tertatih-tatih dan Bang Deni di belakangnya yang berseru bahwa Nene
telah collapse dan tak sanggup bahkan membawa tubuhnya
sendiri. Akhirnya setelah membiarkan Bang Deni dan Nene beristirahat. Memberi
pijatan ringan pada kaki Nene, kami pun kembali melanjutkan perjalan dengan
keadaan Keril Nene yang sudah beralih ke gendongan Bang Tryas.
Sisa perjalanan masih merupakan jalur yang sama walau ada
sedikit bonus jalur mendatar. Kami berjalan amat-sangat pelan sekarang, selain
untuk menyeimbangi Nene, juga karena kaki kami benar-benar sudah lempoh!!! Gue
menyemangati Nene agar terus melangkah yang di sambut doi dengan enteng, “Tenang
Di, gue ga mau tidur di sini kok!” dan kemudian ia bertanya pula, “Tapi Di, lo
kok masi kuat ajah sih? ga gempor kayak gue???” saat itu gue jawab ajah
pertanyaanya dengan jawaban yang sama, “Soalnya
gue juga enggak mau tidur di sini!” Kami pun tertawa. Yah mau gimana lagi,
hanya pemikiran itulah yang membuat kami bertahan. Gue gak mungkin tidur di
sini! Besok Pagi gue kudu ngantor, gue pegang kunci kantor, ga ada gue orang
kantor ga bisa masuk! Gue ga mungkin tidur di tempat ga rata, dingin, dalam
keadaan seluruh badan remuk redam seperti ini malam ini, gue harus pulang, kita
harus pulang. Maka dalam diam kami pun terus melangkah, walau setiap langkap
yang kami pijakkan, membuat jutaan sel-sel otot dan saraf di kaki kami menjerit
kesakitan. Kami tidak punya pilihan.
Dua jam lagi waktu yang kami butuhkan untuk melintasi sisa
perjalanan. Akhirnya kami tiba di kaki gunung. Setelah beristirahat di pos
terakhir, kami pun keluar dari gerbang kaki gunung Gede-Pangrango menuju wilayah
Cibodas nan sepi karena hari sudah menunjukan pukul sepuluh malam.
Kami menuju Base Camp tempat Bang Rifqi dan Deni menitipkan
motor mereka. Tujuh porsi nasi goreng+telur mata sapi kami pesan. Bergantian
kami memakai toilet untuk melakukan MCK dan berganti pakaian kering. Beres
semua, jam sebelas malam kami menyewa angkot menuju pertigaan Cibodas di mana Bus
antar kota lewat dan mengantarkan kami kembali ke terminal Rambutan.
Thanks to my sweety dearest Friend Nene yang sudah
mengantarkan gue dengan motornya walau kakinya sudah ga jelas rasanya. Jam dua
Dini hari, bokap gue menyambut dengan motornya di depan komplek.
“Di, kalau di ajak naik Gede Pangrango lagi, mau Di?”
“enggak!”
“Kalau Rinjani???”
“Mmm… gue pikir-pikir dulu!”
--- END ---
keren dee
ReplyDelete